Selasa, 29 November 2011

Solusi Kota

Howard berkepala botak, berkumis tebal hingga menutupi mulut, berkacamata bingkai kawat, dan pikirannya selalu sibuk mencari jawaban. Ia menyurati istrinya pada 1885 bahwa yang diperlukan keluarganya adalah rumah dengan “taman yang indah, mungkin lapangan tenis rumput.”  Beberapa tahun kemudian, setelah memiliki empat anak dalam enam tahun di rumah kontrakan yang sumpek, Howard pulih dari depresi berkepanjangan dan memiliki skema untuk mengosongkan London.

London pada tahun 1880-an sedang ber­kembang pesat. Akan tetapi, kota ini juga dijejali orang yang jauh lebih melarat daripada Howard. Daerah kumuh yang disatroni Ripper untuk men­cari korban benar-benar memprihatinkan. “Setiap kamar di perumahan busuk dan bau ini menampung satu keluarga, sering juga dua,” tulis Andrew Mearns, menteri pejuang rakyat. “Inspektur kebersihan pernah melaporkan me­nemukan ayah, ibu, tiga anak, dan empat babi di ruang bawah tanah!… Di tempat lain ada janda miskin, tiga anaknya, dan seorang anak yang sudah meninggal tiga belas hari. Warga zaman Victoria itu menyebut daerah kumuh seperti itu sebagai sarang, atau koloni hewan yang beranak-pinak. 

Perencanaan kota abad ke-20 berkembang dari pandangan ngeri tentang kota abad ke-19 tersebut. Anehnya, ini dimulai dengan Ebenezer Howard. Dalam buku tipis yang di­terbitkan sendiri pada 1898, pria yang se­hari-harinya mencatat gagasan orang lain itu memaparkan visinya sendiri tentang per­mukim­an manusia yang semestinya—visi yang begitu meyakinkan sehingga setengah abad kemudian Lewis Mumford, kritikus besar arsitektur berkebangsaan Amerika, berkata bahwa buku itu “merupakan fondasi bagi daur baru peradaban kota.”

Howard berargumen bahwa arus urbanisasi harus dihentikan, dengan cara menjauhkan orang dari metropolis bak kanker itu ke “kota-kota taman” baru yang berswadaya. Pen­duduk pulau-pulau kecil berbahagia ini akan merasakan “perpaduan serasi” antara kota dan desa. Mereka tinggal di rumah dan taman indah di pusat kota, berjalan kaki untuk bekerja di pabrik di pinggiran kota, dan mendapat makan­an dari pertanian di sabuk hijau luar—yang juga akan mencegah kota meluas ke daerah pedesaan. Pada 1907, saat menyambut 500 penutur bahasa Esperanto ke Letchworth, kota taman pertama, Howard meramalkan dengan berani (dalam bahasa Esperanto) bahwa baik bahasa baru itu maupun utopia barunya akan segera tersebar luas ke seluruh dunia.

Dia benar bahwa manusia menginginkan ruang hidup yang lebih besar, tetapi salah tentang masa depan kota: Arus urbanisasi-lah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Di negara maju dan Amerika Latin, arus ini hampir memuncak; lebih dari 70 persen warga di sana tinggal di wilayah perkotaan. Di sebagian besar Asia dan Afrika orang masih mengalir ke kota. Kota besar kini semakin besar dan semakin banyak. Pada abad ke-19 London adalah satu-satunya kota yang berpenduduk lebih dari lima juta jiwa; sekarang ada 54 kota, sebagian besar berada di Asia.

Sekarang urbanisasi dianggap hal baik. Pen­dapat pakar bergeser jauh dalam satu-dua dasa­warsa terakhir. Meskipun daerah kumuh yang memprihatinkan seperti di London masa Victoria kini tersebar luas, dan rasa takut ala warga Victoria terhadap kota tetap ada, kanker sudah bukan lagi perumpamaan yang tepat. Sebaliknya: Dengan populasi Bumi yang sedang menuju angka sembilan atau sepuluh miliar, tampaknya kota padat adalah obatnya—harapan terbaik untuk mengentaskan orang dari kemiskinan tanpa menghancurkan bumi.

Pada suatu malam Maret lalu, ekonom Harvard Edward Glaeser tampil di London School of Economics untuk mempromosikan sudut pandangnya, serta buku barunya, Triumph of the City. “Tak ada negara urbanisasi yang miskin; tak ada negara pedesaan yang kaya,” katanya. Nama-nama negara, yang masing-masing dipetakan berdasarkan PDB dan laju urbanisasi, ditampilkan di layar di belakangnya.

Mahatma Gandhi keliru, kata Glaeser—masa depan India bukan terletak di desa, melainkan di Bangalore. Gambar Dharavi, daerah kumuh terbesar di Mumbai, dan gambar favela di Rio de Janeiro ditayangkan; bagi Glaeser, itu contoh kegairahan kota, bukan penyakit. Katanya, orang miskin berduyun-duyun ke kota karena di situlah uang berada, dan kota berproduksi lebih tinggi karena “ketiadaan jarak antara manusia” mengurangi biaya pemindahan barang, orang, dan gagasan. 

Contoh kota yang hidup bagi Glaeser adalah Wall Street, terutama lantai bursa, tempat para jutawan meninggalkan kantor besar untuk be­kerja dalam kolam informasi terbuka. “Mereka lebih menghargai pengetahuan daripada ruang—dan itulah intisari kota modern,” kata­nya. Kota yang sukses “memberi ganjaran lebih besar bagi orang cerdas” dengan cara me­­mungkinkan orang saling belajar dari se­samanya. Di kota yang rata-rata pendidikan warga­­nya tinggi, orang tak berpendidikan pun memiliki pendapatan lebih tinggi; itulah bukti “limpahan modal manusia.”

Limpahan paling efektif terjadi jika orangnya berdekatan. Belum ada teknologi—tidak tele­pon, Internet, atau konferensi video—yang dapat melahirkan pertemuan kebetulan yang ber­manfaat, seperti yang telah dilahirkan oleh kota sejak Forum Romawi mulai ada. Teknologi juga tidak bisa menyampaikan petunjuk non­verbal kontekstual yang membantu kita me­nyampaikan gagasan kompleks—misalnya, me­lihat mata mengantuk para pendengar untuk mengetahui bahwa kita berbicara terlalu cepat.

Mudah dipahami mengapa para ekonom me­rangkul kota sebagai mesin kemakmuran. Di­perlukan waktu lebih lama bagi kaum pencinta lingkungan, yang menganggap pondok Henry David Thoreau di hutan sebagai contoh ideal. Dengan meningkatkan pendapatan, kota juga meningkatkan konsumsi dan polusi. Jika yang paling Anda hargai adalah alam, kota tampak seperti tumpukan kerusakan yang terpusat—sampai Anda mempertimbangkan alternatifnya, yaitu menyebarkan kerusakan. Menurut Stewart Brand, pendiri Whole Earth Catalog dan kini penganjur urbanisasi, dari su­dut pandang ekologi, etika kembali-ke-desa akan membawa petaka. Kota memungkinkan se­tengah umat manusia tinggal di sekitar 4 persen lahan tanam, menyisakan lebih banyak tempat untuk pedesaan terbuka.

Per kapita, penghuni kota juga menimbulkan efek negatif lebih kecil dalam beberapa segi lain, David Owen menjelaskannya dalam Green Metropolis. Jalan, gorong-gorong, dan kabel listrik mereka lebih pendek dan me­makai sumber daya lebih kecil. Apartemen me­merlukan energi lebih sedikit untuk pemanasan, pendinginan, dan penerangan daripada rumah. Hal yang terpenting, orang di kota padat lebih jarang mengemudi. Di kota seperti New York, penggunaan energi dan emisi karbon per kapita jauh lebih rendah daripada rata-rata negara.

Kota di negara berkembang lebih padat lagi dan menggunakan sumber daya jauh lebih se­dikit. Tetapi, itu terutama karena konsumsi orang miskin tidak banyak. Warganya tidak me­miliki air bersih, toilet, atau pemungutan sampah. Mungkin demikian pula nasib satu mi­liar penghuni kota lain di negara berkembang. Dan kota seperti inilah, menurut proyeksi PBB, yang akan menyerap sebagian besar kenaikan populasi dunia antara sekarang dan tahun 2050—lebih dari dua miliar orang. Cara pemerintah kota-kota ini menanggapinya akan berdampak kepada kita semua.

Banyak pemerintah kota bertindak seperti Inggris saat menanggapi pertumbuhan London pada abad ke-19: dengan berusaha meng­hentikannya. Survei PBB melaporkan bahwa 72 persen negara berkembang menjalani ke­bijakan yang dirancang untuk memperlambat laju migrasi ke kota. Namun, orang keliru jika meng­anggap urbanisasi sebagai hal buruk, bukan sebagai bagian perkembangan yang tak terhindarkan, kata Satterthwaite, penasihat bagi pemerintah dan himpunan penghuni daerah kumuh di seluruh dunia. “Saya tidak takut pada pertumbuhan cepat,” katanya. “Saya bertemu banyak wali kota Afrika yang berkata, ‘Terlalu banyak orang yang pindah ke sini!’ Saya katakan, ‘Tidak, masalahnya adalah ketidakmampuan Anda mengatur mereka.’”

2 komentar: